Jumat, 11 November 2011

Edisi Pertama


Peduli Merapi

Semuanya Meminta-minta di Simpang
OLEH A. RACHEM S

Matahari memang terik ketika itu. Abu beterbangan dan siap saja yang tidak menutup hidung, mulut dan mata, akan sedikit tersiksa. Simpang tiga, empat, lima, bahkan simpang enam selalu saja ada manusia yang meminta-minta. Tidak! Bukan mengemis, bukan juga ngamen. Manusia-manusia yang kebanyakan para pemuda itu sedang menjajakan kardus bekas.
Para pengendara banyak yang mengulurkan tangan. Para pemuda itu banyak keringat, sebagian menyekanya dengan kain atau dengan tangannya yang juga basah karena keringat. Merapi telah mengantarkan banyak orang ke jalan, ke barak pengungsian, ke arah kemanusiaan. 
Nida (17), adalah satu dari sekian banyak pemuda yang turun ke jalan untuk “Peduli Merapi”.
“Kami hanya ikut serta. Tak banyak membantu para korban Merapi,” ucapnya saat ditemui di simpang tiga Jln. Cendana (6/11/2010).
Ada sekitar 20-an orang di kelompok Nida yang semuanya membawa kardus bekas. Mereka terbagi dalam banyak kelompok—yang setiap satu simpang, dari arahnya ada dua sampai tiga orang.
“Kami kadang-kadang menerima uluran tangan pengendara dalam bentuk logistik,” ujar Khozin (20) sambil menyeka keringat.
Sambil membawa bekas kardus televisi ukuran 24 inch yang berisi pakaian yang diberikan oleh salah satu dari pengendara yang lewat, lelaki muda itu memanggil temannya untuk meminta minum. Teman-temannya segera menghampiri dan berkumpul dalam satu lingkaran. Waktu telah siang, waktunya istirahat.
Yang lain lagi—yang ada si simpang-simpang agak jauh dari Nida dan kawan-kawan, segera dihubungi via handpon. Dalam waktu tidak lama, segerombolan sepeda motor datang dari berbagai arah dan masuk ke lingkaran.
“Adalah empat ratus rebu,” kata Hari (19) menirukan ucapan salah satu tokoh sebuah film. Tangan kanannya yang memegan uang yang kebanyakan satu ribu-an dan dua ribu-an Rupiah diulurkan pada Nida.
“Adalah banyak juga tu,” tanggap seseorang dari jauh yang mendekat sambil menunjuk dengan telunjuk tangan kanan. Yang lainnnya tertawa, ada yang terpingkal-pingkal.
“Kami memang kadang-kadang bergurai, supaya lehih lekat persahabatan,” kata Lilik (19).
Ya, sambil bergurau mereka mengumpulkan dan menjumlah hasil menjajakan kardus “Peduli Merapi”.
“Wah, banyak!” Nida, selaku pengumpul, berucap.
“Ayo dibanting.. Ayo dibanting..” sebagian nyeletuk.
Seletukan itu dapat respons cepat. Segera, pemuda-pemuda itu mengeluarkan uang pribadi dan juga dikumpulkan. Maka berangkatlah Fuad (22).
Dalam waktu tidak lama, Fuad datang dengan membawa nasi bungkus.
“Para pengungsi, ayo makan,” katanya—yang kemudian ditanggapi dengan tertawa oleh lainnya.
Begitulah, dari pagi sampai siang, pemuda-pemudi itu “bergerilya” di simpang-simpang, tepat di trafick lift, istrirahat sebentar untuk sholat dan makan, dan dilanjutkan kembali hingga sore.
Nida, Khozin, Hari, Fuad, Lilik dan teman-temannya adalah gambaran dari aktiftas orang-orang yang merasa penduli terhadap bencana Merapi. Dengan turun ke jalan, mereka menampung uluran tangan orang-orang yang menyisihkan sebagian hartanya untuk para korban bencana yang ada di barak pengungsian.
Ketika ditemui di posko utama—tempat berkumpulnya pemuda-pemuda tadi—Sulaiman (21) menjelaskan perihal kegiatan turun ke jalan itu,
“Di Rayon kami, PMII Rayon Fakultas Adab UIN Suka mengadendakan turun ke jalan, sebagian ke pengungsian, sebagai lagi ke lokasi bencana,” kata lelaki berambut godrong, ketua Rayon PMII Adab itu.


Pasca Bencana

Posko Baru untuk Mantan Pengungsi Bencana Merapi

MAGELANG, AT-SAUROH —  Pulang dari pengungsian ke kampung halaman bagi korban bencana merapi bukan berarti dampak merapi telah selesai. Setidaknya itu yang dirasakan oleh warga Wironayan, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah. Maka berdirilah posko untuk mantan pengungsi pasca bencana.
            Tepat di depan masjid posko itu berdiri.
“Yang kita lakukan sekarang adalah bagaimana setelah bencana ini,” kata Samsudi, kepala Dusun Wironayan ketika ditemui di posko.
Sebagai dusun yang tertimpa musibah meletusnya merapi, Dusun Wironayan cukup porak poranda, terutama pepohonan salak dan kelapa yang menjadi bagian terbesar dari penyanggah hidup warga. Dijelaskan oleh Samsudi, untuk memulihkan salak ke kondisi semula setidaknya dibutuhkan waktu setahun, bahkan lebih. Apalagi, melihat keadaan perkebunan salak yang rusaknya sangat parah.
Posko ini mutlak diperlukan agar pemulihan bencana dapat berjalan maksimal, kata Samsudi. Sebenarnya,sebelum bencana di dusun ini sudah ada program membangun rumah yang sudah tidak layak huni, mungkin sudah selesai kalau tidak ada bencana. Namun, hal itu tidak menjadi masalah karena hampir semua warga di sini menyadari akan bencana itu, lanjut Samsudi.
Samsudi juga menjelaskan, program pembangunan rumah sudah mulai berjalan kembali. Ada sekitar 11 rumah tidak layak huni di Dusun Wironayan dan sudah mulai didatangkan material.
“Sebentar lagi rumah tak layak huni sudah menjadi layak huni,” kata salah satu warga yang juga ikut membantu program itu.

Posko itu menjadi pintu masuk beberapa relawan untuk lebih jauh ikut serta dalam memulihkan keadaan dusun. Beberapa orang atau pun lembaga pemerintah sudah masuk ke Dusun Wironayan. Ada yang langsung turun bersama warga, kerja bakti memotong dauh salak yang sudah kering; ada yang membantu di masjid, mengajar TPA; dan banyak hal lain yang dikerjakan oleh beberapa relawan pasca bencana di dusun itu (FD/ID).
 


Al-Jamiah Hibur Warga Korban Bencana Merapi

MAGELANG, ATSAUROH — Sekembalinya dari pengungsian ke kampung halaman, warga dusun Kradenan, Srumbung, Magelang, secara berkala membenahi tempat tinggalnya. Dengan dibantu oleh beberapa instansi pemerintah, organasi dan relawan, bahu-membahu mereka berbaur melakukan kerja bersama untuk membenahi apa-apa yang rusak karena muntahan lahar yang melanda Kradenan. Mulai dari kebun salak yang morat-marit, atap rumah yang ambruk sampai pada selokan yang mampet. 

Salah satu yang cukup menarik dari aktivitas warga Kradenan adalah ngumpul bersama sambil menikmati alunan dangdut yang disajikan kelompok musik Al-Jamilah. 

“Kegiatan semacam ini sangat perlu. Setidaknya untuk menghibur warga. Biar pikiran dan hati tenang,” kata Samsudin, Kepala Dusun Kradenan. 

Kelompok musik dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, hampir setengah malam menghidangkan lagu-lagu beragam tema pada mantan pengungsi. Alhasil, warga sangat antusias dengan kehadiran musik Al-Jamiah. 

“Kami sangat terhibur. Ini juga menjadi momen penting untuk kita berkumpul bersama setelah sebelumnya juga bersama di pengunggsian tetapi menunggu pulang ke rumah. Sekarang kita semua sudah di rumah. Dan kami sangat bahagia,” ucap Fikri, Pemuda Kradenan. 

“Kami memang mengadenkan di Al-Jamiah untuk manggung menghibur para pangungsi. Sebelumnya-sebelumnya Al-Jamiah sudah manggung di bebarap tempat,” kara Nasrul Wahid, Ketua kelompok musik Al-Jamiah. 

Dengan hiburan musik itu, para pemusik Al-Jamiah ingin sedikit membantu para korban bencana lewat dendang lagu.

“Siapa tahu dengan lagu-lagu religius kita bisa sadar terhadap apa yang terjadi. Ada hikmah besar dari bencana ini,” kata lelaki yang juga pemegang kesek di Al-Jamiah, itu sambil tersenyum. 

Salak Putri Malu

“Salak di sini sekarang tak ubahnya seperti putri malu,” kata Haris (35).

Relawan Rayon Adab

“Kalau kami ditanya siapa yang ngajiarim TPA, ya mas dan mbak-mbak relawan,” kata Tole (4).  Di barak pengungsian Rumah Ibu Siti,

Menikmati Mendung di Langit Srumbung

Kami secara serentak mengambil motor dan berangkat menuju jembatan ambruk di kilometer 15 di kawasan Kecamatan Srumbung, Magelang. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke lokasi karena ketika itu kami berempat sedang nginap di Dusun Kradenan,

Idealisme dan Tanggung Jawab Sosial Mahasiswa, dimanakah kini?
Oleh: Aziz *[1]

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah bahan manusia terbaik dalam suatu bangsa (the best human material of a nation). Ungkapan ini perlu untuk kita renungkan kembali karena begitu dahsyatnya perubahan yang terjadi di dunia kita saat ini khususnya dalam bidang pendidikan, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi cara berpikir dan pola hidup manusia agar mampu beradaptasi dengan lingkungan hidupnya. Orientasi hidup seorang mahasiswa dalam studinya pun mau tidak mau juga terpengaruh dengan perubahan yang terjadi di dunia dewasa ini. Ada yang studinya dengan orientasi mendapatkan pekerjaan yang layak kelak setelah selesai kuliah, ada yang studinya karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, ada yang karena gengsi dan masih banyak lagi alasan lain untuk memaparkan tujuan mahasiswa dalam studinya.
Mengapa mahasiswa disebut sebagai bahan manusia terbaik dalam suatu bangsa? Pertanyaan sederhana ini, mengajak kita sebagai mahasiswa untuk melihat ke dalam diri kita siapa sebenarnya mahasiswa. Kenapa ungkapan itu hanya ditujukan kepada mahasiswa bukan kepada lapisan masyarakat yang lain? Apa makna yang terkandung dibalik ungkapan itu?
Cak Nur dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa mahasiswa memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan lapisan masyarakat yang lain. Secara intelektual, pengetahuan mahasiswa seharusnya lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya. Jika meminjam terminologi agama, mahasiswa masuk dalam kategori golongan “khowas” yakni golongan khusus yang memiliki derajat keilmuan dan moral yang lebih tinggi dibanding dengan golongan “‘am” yakni masyarakat awam pada umumnya. Sebagai golongan khowas, mahasiswa oleh masyarakat dituntut untuk memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial yang lebih tinggi terhadap lingkungan sosialnya . Usianya yang masih muda dan hidup dalam lingkungan akademik memungkinkan mahasiswa untuk menyerap ide-ide dan mengungkapkan gagasan-gagasan yang segar. Mahasiswa juga memiliki kebebasan yang lebih banyak dalam mengekspresikan gagasan dan melakukan berbagai tindakan karena tidak atau belum adanya beban kehidupan sehari-hari sebagaimana yang ditanggung oleh orang yang sudah berkeluarga (Madjid, 1993: 109).


 Dengan adanya beberapa kualitas di atas, mahasiswa dimungkinkan untuk melakukan tindakan-tindakan, mengeluarkan gagasan-gagasan dan mengadakan penilaian yang tidak memihak atau obyektif dalam memandang berbagai problem kehidupan. Dalam kehidupan bernegara, mahasiswa menjadi lapisan masyarakat yang paling vokal dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Mahasiswa menjadi lapisan masyarakat yang paling berani dalam menyampaikan aspirasi dan gagasan-gagasannya. Mereka mempunyai peran strategis dalam menyuarakan aspirasi rakyat mengenai  kesejahteraan bersama, keadilan sosial, penegakan HAM, demokrasi dan berbagai masalah yang sedang dihadapi suatu bangsa. Karena berbagai tindakannya itu, mahasiswa seperti yang dinyatakan oleh sosiolog klasik Jerman Theodore Geiger masuk dalam kategori sebagai cendekiawan yang memiliki tugas menjadi pengkritik kekuasaan yang tidak pernah jemu untuk menjaga agar pohon kekuasaan tidak bertumbuh tinggi mencakar langit (Die Aufgabe der Intelligenz ist es die unermudliche kritikerin der macht zu sein und so zu verhindern, dass die Baume der Macht in den Himmel wachsen) (Dhakidae, 2007:142).
Dalam lingkup yang lebih kecil yaitu di lingkungan Universitas, mahasiswa juga memiliki peran sebagai pengawal jalannya birokrasi kampus. Dalam hal ini, kampus bisa diartikan sebagai sebuah miniatur negara karena denyut dan struktur kehidupan di dalamnya yang mirip dengan struktur birokrasi negara.   Mahasiswa sebagai salah satu oknum yang menjalankan kebijakan kampus, dituntut untuk bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan yang ada. Apakah berbagai kebijakan itu benar-benar untuk meningkatkan kualitas mahasiswa? Atau ada maksud lain dibalik kebijakan tersebut? Atau justru suatu kebijakan itu malah akan mematikan aktivitas dan kreatifitas mahasiswa? Apakah sisi positif dan negatif suatu kebijakan bagi kehidupan mahasiswa?  Hanya dengan cara mengambil jarak dengan birokrasi kampus, mahasiswa akan mengetahui dinamika arah dan tujuan suatu kebijakan,termasuk di dalamnya mengetahui konfigurasi peta perpolitikan kampus.
Dalam lingkup kecil ini, hendaknya mahasiswa  memaknai kampus bukan sekedar sebagai tempat belajar keilmuan saja, tetapi juga sebagai sebuah lingkungan (environment) yang menumbuhkan kesadaran intelektual, kesadaran kelas, dan menumbuhkan semangat pengabdian yang nantinya akan menjadi bekal ketika terjun di masyarakat. Untuk mewujudkan idealisme dan gagasan-gagasannya, salah satu cara yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah dengan mengikuti dan masuk ke dalam salah satu organisasi, baik ekstra maupun intra kampus.
Di dalam organisasi itu mahasiswa akan mendapatkan bekal pengalaman dan keterampilan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi di dalam kampus dan masyarakat. Karena cita-cita utama sebuah organisasi kampus bukanlah untuk mencapai kejayaan atau lebih unggul dari organisasi kampus yang lain, tapi orientasi utamanya adalah agar organisasi itu bisa memberikan kontribusi kepada civitas akademika kampus dan masyarakat dalam segala bidangnya, baik bidang material maupun bidang spiritual.
 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa mahasiswa seharusnya menjadi lapisan masyarakat yang selalu gelisah dengan berbagai problem kehidupan sosial. Kebebasan berpikir dan kejujuran intelektual yang ada dalam diri mahasiswa memungkinkan mereka untuk terus mencari terobosan baru dan mengembangkan skill untuk mengatasi berbagai macam problem kehidupan yang dihadapi masyarakat. Mahasiswa yang berhasil dalam studinya bukan hanya diukur dari nilai tinggi yang diperolehnya, tetapi bagaimana agar mahasiswa bisa hadir sebagai manusia seutuhnya, dengan kesadaran diri, kepekaan sosial dan kualitas intelektual yang dimilikinya yang akan menjadi bekal untuk mengabdikan diri dalam kehidupan yang sebenarnya.
Sebagai penutup, menurut hemat penulis apapun peran dan tujuan dari studi seorang mahasiswa, apapun organisasi yang yang menjadi pilihannya, yang paling penting adalah mahasiswa harus berkarya untuk menciptakan berbagai altenatif yang bermakna bagi kehidupan bangsa.  Akar kehidupan seorang mahasiswa adalah idealisme,  kepekaan sosial adalah pohonnya dan gagasan-gagasan serta kontribusi mahasiswa kepada masyarakat adalah buah manis perjuangannya. Jadi, yang menjadi ukuran kualitas mahasiswa maupun sebuah organisasi adalah kontribusinya terhadap masyarakat.
 Benarkah mahasiswa adalah bahan manusia terbaik dalam suatu bangsa? Kita kembalikan pertanyaan ini kedalam diri kita masing-masing.
 

[1]*Mahasiswa SKI Semester 3 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga


Abdul Hasan Adhari
Jendela Pagi

Selamat datang pagi
Tersapa salamku dengan senandung harapan
Membuka lembaran tirai yang terkecup senyum bias mentari
Maka, kurangkai hati bersama kicau nyanyian bumi
Dan Mimpipun bertebaran  bersama bunga-bunga yang merekah
Temanilah aku sesaat saja, dengan hangatnya sinar kuningmu
Dan Teteskan butiran sejuk embun menyambut derap kakiku
Sampai, disaat langkah dan mimpipun terhenti
Rangkullah beban-beban itu dengan angin sejukmu
Sampai jumpa lagi pagi
Engkau sahabat terbaik di saat kedua mata ini melihat dunia.

Satu Kata Saja
Satu kata saja, bisa membuat batinku merindu
Menyita angan-angan yang selalu ingin bersamamu
Satu kata saja, merubah kehidupanku menjadi warna-warna  yang indah
Saat kulukis elok  parasmu dalam lembar khayalanku
Sangat indah Sayang, hanya  kau dan aku
Satu kata saja, waktu dan ruang dapat kurajai 
Saat  Indah Tubuhmu kudekap dengan hangat, menyatu dengan satu cita
Satu kata saja, senyumkupun  merekah tersipu
Saat kau bisikkan namaku dengan lembut kasihmu
Sangat indah sayang, hanya kau dan aku
Ah, satu kata itu saja,mampu membuat  nadi-nadiku berdenyut riang
Darahkupun mengalir begitu cepat dengan namamu.
Dan akupun tak pernah mengerti, karna
Fikiran inipun hanyalah tentang kamu, kamu, dan kamu
Dengan Langkah kaki tergontai hanya untuk bertemu denganmu
Bersama  tubuh yang hanya ingin sejenak bersandar di bahumu
Satu kata saja, mengertikah kau sayang 
“CINTA”



Sajak Kelahiran

Kemana jiwa-jiwa pujangga yang pernah bersetia temani langkah
Kemana kujujuran naluri nurani yang sempat menyala dalam Jiwa
Kemana suara-suara lancong yang gentar bergelegar di rongga dada
Kemana kata-kata liar yang deras membakar lidah
Kemana kalian hai pejantan yang memecut langkah
berputar dan berlari sambil berteriak di tengah porak poranda
perbincangan kacau yang menggelisahkan ibu pertiwi
segalanya raib tampa sesamar rupa cahaya
Tenggelamkah di istana ratu balqis
Atau sudah terpaut kesunyian Gibran

Kemana; tanggal, bulan, dan tahun yang setia kau jadikan persaksian
Katakan dengan teriakan yang paling sunyi dari palung hatimu

Civil Community, 18-27/10/10


APOLOGIA

/I/ Bukan semata-mata cara pandang yang lata, tetapi hasrat dan pikiran
telah menggores satu pilihan, satu jalan panjang dalam peta kehidupan.
Sederhana menjalaninya, sewajarnya menyikapinya, tak lebih dari ujian
untuk mencapai sesuatu yang disepakati waktu dan seisi alam
Hanya saja orang-orang yang akrab dan setia menemani bahkan rela
memberikan apa saja, atau sebatas rasa iba sebagai penghormatan
persahabatan. Entahlah, aku tak ingin memberikan pernyataan
Aku tak ingin berburuk sangka, mereka di hidupku sebuah ketegaran
Walau tidak jarang luka-luka kecil ia kerat sambil menyalakan api dendam
namun hidup telah menjelma beragam warna.
aku berfikir, hidup sewajar orang orang di sekeliling,

/II/Tak lain tak bukan, hidup dan kehidupan sebatas jalan pintas
antara ada dan tiada. Antara nurani dan pikiran yang berputar
di belantara manusia. Aku sampai tak mampu melafalkan
keadaan sejati kecuali prasangka-prasangka dan praduga
yang tak juga melahirkan kebenaran jawab Atau alasan gombal
demi menutupi kesalahan. Satu pertemuan keyakinan
mampu memberikan setapak perlintasan menuju hakikat perjalanan
Kenyataan jarang menjadi kesadaran mencapai keadaan wajar.

DIY, 22/23 november ‘10





1 komentar:

Jadi Pengen Nulis kayak cerpenis yang satu itu..
ayoo bung ajari aku nulis

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites