Senin, 07 November 2011

Laki-Laki Yang Ditakdirkan Mencintai Patung

Laki-Laki Yang Ditakdirkan Mencintai Patung

Cerpen: Zainuddin Talareksa*)

“Itu patung, anakku. Itu tanah liat yang kau bentuk menjadi sesosok manusia. Sampai kapan kau akan menangis dihadapannya. Diluar sana masih banyak perempuan-perempuan yang sesungguhnya. Kau jangan terkecoh, anakku.”
“Andaikan ibu tahu tentang hakikat cinta, ibu tidak akan mencelaku, seperti orang-orang Arab mencela bangsa Oddrah. Ibu tahu kenapa orang-orang Arab mencela bangsa Oddrah?. Karena mereka terlalu lemah hingga mereka hanya mampu melihat luarnya saja. Padalah di balik semua itu ada satu hal yang amat berharga dan harus diperjuangkan oleh bangsa Oddrah, yaitu pemujaan cinta. Ya, sekali bangsa Oddrah mencintai sesuatu, mereka akan membawanya hingga mati. Begitu pula dengan aku, Ibu.”
Kurang lebih seperti itulah kata-kata Rangka, anakku, ketika aku mencoba menyalahkan kelakuannya. Pernyataan itulah satu-satunya yang selalu dijadikan pembelaan atas segala sikapnya semenjak ditinggal oleh lisia Villi. Aku sendiri tak dapat membaca atau menafsiri Rangka. Aku dan Rangka mempunyai kelainan jiwa. Jika Rangka mempunyai jiwa seni, aku tidak. Aku hanya perempuan yang sudah bau tanah. Aku tereyuh melihat anak semata wayangku menderita. Apalagi ketika mendengar gunjingan tetangga; Rangka telah gila. Ibu siapa yang tak sakit mendengar anaknya menjadi gunjingan?.
Sungguh sakit melihat derita Rangka. Tapi sedikit pun aku tak bisa berkutik untuk menghentikan semuanya. Aku terlalu lemah untuk membendung keyataan ini. Sebenarnya perubahan tingkah laku Rangka itu berawal dari kepergian Lisia Villi, tunangannya.
Aku tidak tahu persis awal pertemuan Rangka dengan Lisia Villi. Yang aku ingat, ketika Rangka tengah menuju puncak kejayaannya sebagai ahli seni pahat, tiba-tiba sehabis dia pulang dari pameran seni, dia membawa seorang wanita. Melihat itu aku sangat bahagia. Menurutku sudah waktunya Rangka mengganding wanita. Rangka sudah dewasa.
Beberapa bulan kemudian, Rangka mengatakan kalau lukisan yang selama ini koleksinya karya Lisia Villi. Maka aku sebagai seorang ibu yang tidak mengerti dunianya hanya bisa tertawa senang. Bahkan tidak segan-segan Rangka mengatakan: Jika Lisia Villi tidak ada, mungkin karyaku tak kan pernah lahir, karena seluruh karyaku terinspirasi dari lukisan-lukisan Lisia Villi.”
Begitulah pernyataan Rangka. Memang benar jiwa kesian Rangka semakin dalam setelah pertemuannya dengan Lisia Villi, bahkan tak jarang dia mendapat menghargaan. itulah yang membuat aku kian antusias untuk mendukung karir Rangka .
Satu-dua tahun mereka masih berjalan tanpa ikatan, sekalipun mereka kerap berjalan bersama, mengadakan pameran bersama, bahkan terkadang mereka menghadiri geleri seni bersama. Tapi waktu itu sebenarnya di mata Rangka telah bertebaran bebunga cinta, hanya saja dia tidak berani menyatakannya. Entah apa karena dia terlalu sibuk hingga tidak sempat mengungkapnya, atau karena malu? Semua itu masih remang-remang terpancar dari raut muka Rangka, bagai neon redup dalam ruang.
Namun lama kelamaan aku melihat gejolak dalam diri Rangka kian membesar dan mengambang di matanyan. Sikapnya pun berubah menjadi kaku, seakan gerak-diamnya serba salah di hadapan Lisia. Ternyata benar mata itu tak kan bisa dusta meski lidah berulang kali telah menutupnya rapat-rapat.
Berhari-hari Rangka mencoba untuk tetap menyembunyikan gelagat cinta yang terus tumbuh di ulu hatinya, mengembang mekar di kelopak matanya. Tapi semua itu ternyata tak dapat merubah cuaca yang mendera dirinya, malah sikapnya yang semakin kaku membuat dirinya tak bisa menyembunyikan gelagat itu.
Seorang ibu pasti tahu bagaimana sifat dan sikap anaknya. Jiwa ibu dan anak itu jiwa satu. Jadi seorang ibu akan tahu setiap masalah yang merundung anaknya. Maka suatu hari, disaat aku berkumnpul dengan Lisia di teras rumah –tepatnya diwaktu senja– aku mencoba membujuk Lisia untuk sekedar berbasa-basi tentang perasaan Rangka. karena dia mempunyai sifat kerdil mental untuk mengungkapkan sesuatu pada orang lain, apalagi pada perempuan. Lisia setuju. Disaat Rangka mendatangi kami di teras, aku pura-pura pamit kedapur pada Lisia.
Dari balik pintu aku melihat Rangka mulai basa-basi, begitu pula Lisia. Tapi dengan basa-basa Rangka makin terlihat jelas kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. Dan beberapa lama kemudian Lisia mulai memutar membicaraan seperti yang aku perintahkan. Dengan sangat halus Lisia Villi mencoba menyindir Rangka.
“Untuk apa manusia menyimpan sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri?. Kalau aku tengah mengidap penyakit insomnia, aku akan mengambil kuas dan kanfas untuk menumpahkan seluruh gemelut dalam kepala. Karena dengan itu aku akan terbebas dari belenggu itu.”
Rangka mengangkat mukanya. Terpana. Wajahnya merah senja.
“Yang aku tahu, seorang seminan itu tidak membohongi dirinya sendiri, dan tidak ada seorang seniman yang takut untuk mengungkapkan gejolak yang mendera hatinya. Seorang seniman itu berjiwa pemberani. Jika seorang pelukis sedang didera sesuatu, maka dia akan menuangkannya lewat kanfasnya. Jika seorang penyair, dia akan berteriak lewat kata-kata. Berbeku dalam penderitaan itu pengecut.”
Kurang lebih begitulah lukisan bahasa Lisia Villi. Dan ternyata sehalus apa pun yang namanya kata-kata akan tertangkap maksudnya. Rangka paham terhadap kiasan Lisia. Rangka perlahan tersipu suasana yang mulai menegang dan menyudutkannya.
“Tak ada lagi persembunyiaan lagi untukmu, Rangka.”
“Kau benar Lisia. Kemana pun aku menyembunyikan gelagat ini pasti akan terjangkau olehmu. Aku tak bisa membohongi mataku sendiri. Tapi membahasakan gelagat perasaan ini jauh lebih sulit dari aku memahat kayu atau membentuk tanah liat menjadi sesosok tubuh manusia. Andai saja kau tidak meyuruhku belajar jujur, mungkin aku tidak akan pernah mengatakan semua ini padamu.”
“Apakah kau kuat menanggung penderitaan yang akan meringkus hari-harimu dengan paksa, Rangka?.”
“Jika itu pilihannya, aku akan bertahan sampai mati, Lisia.”
“Benarkah?.”
“Ya.”
“Andai bukan karena cinta, tidak mungkin aku akan menangisi reruntuhan rumahmu”
“Aku tidak sanggup untuk memaknainya, Lisia”
“Sudahlah!, hanya kejujuran yang akan menjadi malaikatmu”
“Benarkah?”
“Ya. Jujurlah pada dirimu sendiri. Ingat!, kesempatan datang sebelum penyesalan, Rangka.”
Sebuah sinar menyala pelan-pelan dari muka Rangka .
“Percayalah padaku. Karena akulah penyebab penderitaan sekaligus obat bagimu.”
Mendengar pernyataan Lisia, Rangka bangkit, terasa ada sejuta energi yang tiba-tiba tumbuh dari lubuk hatinya yang selama ini dibenggu penderitaan. Aku sangat bahagia melihat kenyataan ini. Aku tak sadar kalau aku berteriak kegirangan dari balik pintu, sehingga mereka berdua tersentak seketika.
Mereka berdua pun sepakat untuk menjalin hubungan bermudalkan cinta yang begitu besar dalam hati mereka masing-masing. Dan satu tahun kemudian –mungkin karena mereka sama-sama merasa nyaman– akhirnya mereka bertekad untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Mereka sekapat tunangan.
Cinta mereka pun semakin terpancar cahaya. Mereka tak pernah lepas tangan. Dan aku merasa amat bahagia melihat perubahan itu. Biar aku tak punya apa-apa aku tetap merasa menjadi seorang ibu paling mulia di dunia.
Satu tahun kemudian mereka pun merancang acara pernikahan. Mereka sepakat akan memamerkan dari hasil dari karya mereka masing-masing di hari pernikahannya. Mereka menghabiskan hari-harinya dengan berkarya. Bahkan mahar yang akan diberikan Rangka tidak berupa seperti yang sering kali laki-laki berikan pada calon istrinya selama ini. Rangka akan memberikan sebuah patung. Entah patung itu seperti apa, tidak ada yang tahu, karena patung itu dibuat di dalam kamar Rangka, dan siapa pun tidak boleh masuk ke kamarnya, termasuk aku, ibunya.
Namun, satu hari sebelum pernikahan mereka, bencana menghantam jiwa Rangka. Lisia Villi pergi dengan seketika. Lisia Villi temukan tergeletak di samping lukisannya sendiri. Entah apa penyebabnya. Hingga hari ini masih misterius.
Di sinilah awal mula mengalirnya penderitaan, menghayutkan seluruh hari-hari Rangka menuju hulu yang tak menenukan danau. Rangka dengan seketika pun berubah. Dia telah menyerupai bangsa Oddrah. Ya, bangsa Oddrah yang ketika mencintai sesuatu itu akan dibawa mati.
Tapi yang terpenting dari cerita ini bukan disitu. Melaikan sikap Rangka terhadap patung yang rencananya akan dijadikan maskawin untuk Lisia Villi. Rangka telah menganti posisi Lisia Villi dengan patung. Ya, Rangka kini mencintai patung hasil karnyanya sendiri.
“Itu bukan Lisia. Itu tanah liat, Anakku. Lisia telah mati”
“Lisia tidak pernah mati dari hidupku, Ibu.”
“Tapi anakku…”
“Jangan menangis, Bu. Air mata ibu terlalu berharga bagi Rangka.”
“Inikah yang dikatakan takdir Tuhanku…”
Aku menangis di samping Rangka yang tengah memeluk patung yang begitu mirip Lisia Villi itu. Aku benar-benar telah kehilangan kekuatan. Sementara di luar sana semakin banyak orang-orang yang tertawa.[]



17 Agustus 2009

1 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites