Jumat, 11 November 2011

Cerpen Rahem Siyaeza: Indonesia Raya



Indonesia Raya
Cerpen Rachem Siyaeza
Seputar Indonesia, Minggu, 17 Agustus 2008


Lapangan itu seolah dipenuhi siswa, guru dan para pegawai. Entah siapa lagi. Bentuk dan rupanya masih sama dengan beberapa tahun yang lalu, tetap ada rumput biru dan dua gawang bola.
Ya, lapangan itu setiap sore selalu ditempati untuk main bola. Musim sudah agak lama kemarau, namun rumput-rumput itu tetap biru seperti halnya di musim hujan. Dan tak juga berubah jika masih pagi, di bagian-bagian tertentu lapangan, selalu saja ada pedagang sayur sedang menunggu pelanggan.
Ia sedikit meneteskan beberapa butir air dari matanya. Pandangannya seperti menembus masa lalu. Ia seakan mendengar derap-derap kaki dan ramainya orang memasuki lapangan yang akan melaksanakan upacara bendera 17 Agustus. Dan berlalu kemudian, lagu Indonesia Raya seperti terdengan lamat di kupingnya, begitu jelas lirik dan nadanya. Ia merasa sedikit sejuk dan bergairah. Tetapi, tak lama kemudian ia tertegun, matanya tak juga berhenti bergerimis, tak banyak namun terus mengalir. Ia tentu tak bisa melupakan tugas yang pernah ada di pundaknya sebagai paskib. Itu dulu, semasa ia bersekolah. Empat atau bahkan lima tahun yang lalu. Ia tak tahu benar kapan itu.
Ia seperti melihat dirinya sedang hormat kepada merah putih dengan dua laki-laki, satu di samping kanan dan satunya lagi di samping kiri, juga beberapa orang di belakangnya. Ya, benar. Ia dulu adalah seoarang paskibraka, setiap tahun ia yang menjadi salah satu orang yang menaikkan sang merah putih ketiangnya.
Setiap tahun juga ia orang pertama yang mendorong warga kampung untuk merayakan bulan Agustus sebagai bulan bahagia. Ia hampir mempunyai semua peran dalam merayakan hari kemerdekaan itu. Mulai dari lomba hingga pada pembagian hadiah, juga pada terakhir upacara, yakni membersihkan lapangan dari dari sampah-sampah. Sebab, setiap upacara selesai pastilah bungkus snack-snack berhamburan. Hal-hal yang tak bisa dihindari, terutama siswa adalah memakan makanan ringan yang dibeli di pinggir-pinggir lapangan. Yang pastinya bungkus dari snack itu menjadi bagian tak terpisahkan dari langangan.
Namun, ia seperti terbangun dari mimpi. Dan mukanya padam menampakkan kegelisahan yang tak tertangguhkan. Sudah empat atau lima tahun ia tidak lagi ambil bagian terhadap upacara. Sebenarnya, ia ingin melafalkan lagu Indonesia Raya, juga lagu yang dilagukan ketika mengheningkan cipta. Tanpa ia sadar mulutnya mulai mengeluarkan nada, mulai melagukan Indonesia Raya dengan tangan menghormat ke tiang bendera yang memang telah terpasang sebelumnya di tengah lapangan, agak di pinggir, tepatnya.
Ia masih berdiri di pajok kiri lapangan, seperti membaca suatu hal yang telah lama terkenang di kepalanya. Angin sedikit menampar wajahnya dan membelai rambut lurusnya. Ia tak meneruskan apa yang telah dilagukan. Dan tangannya ia turunkan yang semula menghormat kepada tiang bendera, ia turunkan tangannya dengan penuh perasaan berat seakan mendengar ada sesuatu yang melarang untuk melagukan lagu Indonesia Raya.
Kembali ia tersadar, bahwa ia kini bukan lagi seorang paskibraka. Kini, ia seorang yang entah apa identitasnya. Ia hanya tahu bahwa ia mempunyai kewajiban untuk selalu menunggui seseorang di dalam rumah jika malam telah datang. Ia tak sama sekali mengenalnya siapa yang ditunggunya. Cahaya matahari yang panas tak ia rasakan meski dengan perlahan membuat semacam air mengalir di keningnya, bahkan punggungnya.
Lamat-lamat ia mulai ingat apa yang dikatakan oleh orang yang ditunggunya pada suatu malam bahwa rumah yang ia tempati, tepatnya, tempat ia kerja (ah, terlalu menyakitkan jika rumah itu dikatakan tempat kerja) menanyakan padanya “sudah berapa tahun kamu berada di Genting Hijau ini”. Namun, ia tak begitu ingat mulai kapan ia berada di rumah yang juga sama kawan-kawannya dari berbagai daerah, sama-sama menunggu untuk kemudian jika yang ditunggu datang mempunyai kewajiban menutup gorden pintu kamar. Dan seterusnya ia juga tak begitu tahu, tiba-tiba ia disodori sejumlah uang yang tak seberapa jumlahnya setelah merasakan kenikmatan namun selalu menyakitkan. Dan setelah semua selesai, ia menunggu lagi! Dan terus menunggu jika malam telah datang! Ah, Genting Hijau.
***
“Va, aku tadi malam dapat 20.000 lho,” ucap May, teman setempatnya suatu malam.“Kamu diberi berapa?” lanjut May.
“100.000.” ia menjawab.
“Wah, pasti orang itu orang kaya.”
Ia tak melanjutkan lagi percakapan dengan Maya, ia mulai ingat sesuatu tentang laki-laki yang setelah……(ah, betapa sulit diucapkan) memberinya uang cukup banyak untuk ukuran Genting Hijau itu. Ia mulai ingat desisannya, suaranya mirip Zainuddin ketika melagukan Indonesia Raya. Entah mengapa dulu, ketika ucapara bendera 17 Agustus, suara Zainuddin terlampau hangat di kupingnya. Apa lagi setelah dia menyampaikan sambutan di tengah-tengah upacara, suaranya begitu ia kenal dan tentu saja enak didengar.
Dan kini, setelah empat atau lima tahun yang lalu, setelah ia diantar Zainuddin ke Genting Hijau dengan membawa Ijazah SMA-nya (memang ia hanya lulus SMA) ia tak lagi bertemu dengannya. Zainuddin seperti telah melupakannya. Dan setelah lama, bahkan ia telah pasrah atas apa yang terjadi, ia seperti mendengar suara Zainuddin. Ya, Zainuddin, laki-laki yang memberinya uang seratus ribu pada malam itu. Tidak salah lagi!!!
Kini, kemuakannya pada Zainuddin seperti berkobar, ingin sekali ia mencincang-cincang tubuh laki-laiki itu hingga menjadi abu. Tapi, suatu hal yang masih bersemayam di lubuk matanya. Ya, Senyum Zainuddin merapuhkan segalanya yang ada pada dirinya. Ia masih ingat benar, ketika dulu Zainuddin mengajar di kelas, selalu saja melirik padanya. Ah, tak pantas sekali ia menjadi guru, masih terlalu muda, pikirnya waktu itu. Dan ia dengan kikuk tersenyum sambil menundukkan kepala waktu itu. Ia seperti diserbu masa lalu yang berkabut namun juga dapat menghalau keinginannya untuk segera membenci Zainuddin.
Tapi, hal lain yang masih menyerang pikirannya: suatu hal yang tak terduga, ia dirayu Zainuddin untuk bekerja di Genting Hijau dengan menjanjikan sebuah keberuntungan yang menggiurkan. Juga ia terlampau percaya pada Zainuddin untuk melamarnya setelah ia bekerja di Genting Hijau. Namun, sampai kini, ia tak mendapatkan apa-apa, Zainuddin pun tak jadi melamarnya. Zainuddin yang ia kenal sebagai seseorang guru muda di SMA-nya, yang pernah suatu kali memberi kata sambutan pada saat upacara Agustus, telah memasukkan dirinya ke hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Genting Hijau!
Ah, sampai juga pada bulan Agustus. Bulan di mana ia menjadi paskibraka, menjadi bagian dari 17-san. Menjadi penggiring bendera. Bukankah itu suatu kebanggaan baginya? Tapi, itu beberapa tahun yang lalu. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara burung yang melintas di atas kepalanya, menghinggapi pohon ketapang. Pohon ketapan itu, seperti tumbuh di kepalanya.
Dulu, pohon itu, tempat ia mencuri pandang ketika Zainuddin tak sengaja memerhatikannya, tentulah sebelum upacara dimulai. Ia dengan kikuk menghampiri pohon ketapang itu, bersembunyi di balik pohon, atau lebih tepatnya, ia menyembunyikan kikuknya dari Zainuddin dengan pura-pura pergi membuang tisu yang ia usapkan pada mukanya yang sedikit berminyak. Tapi, dengan pelan, ia tatap juga mata Zainuddin. Masa-masa itu, sungguh terlampau susah dan sulit untuk di buang begitu saja di memorinya.
Ia dikagetkan juga oleh seseorang yang sejak tadi memerhatikannya. Ia seperti kehilangan kendali untuk menyembunyikan kesedihan dan air matanya yang masih rintik mengalir ke pipinya. Buru-buru ia berpura-pura sakit mata dengan sedikit menghadapkan muka ke atas. Ke langit.
“Kamu gak jadi paskib lagi?” tanya seseorang yang sejak tadi memerhatikannya.
“Tidak,” jawabnya datar.
Rupanya, si penjual rujak masih ingat bahwa ia pernah menjadi seorang paskib, meski beberapa tahun yang lalu.
Ah, penjual rujak itu tetap saja ramah. Dia, tak pernah berubah. Dan ia dengan gerakannya yang serba salah mulai bertanya-tanya untuk sekedar menghangatkan suasanya atau bahkan menghindari orang itu menyakan tentang hal-hal yang bisa menghadirkan masa-masa indah yang kemudian menjadi kenangan yang menyakitkan.
“Nyai, bagaimana keadaannya, apa sekarang sudah mengalami perkembangan.”
“Ya, Alhamdulillah.”
Berlalu kemudian, ia mohon diri untuk pergi. Entah, karena memang ingin pergi atau barangkali karena takut beberapa hal. Takut kesedihannya semakin terlihat. Atau takut ditanya suami, takut di tanya kenapa anaknya di rumah tidak sama sekali mirip dengannnya, ah! Ia tiba-tiba ingat bahwa ia lupa tidak menyiapkan makan siang. Pasti, si Wahiba menunggu. Ia seharusnya sudah ada di rumah menemani Wahiba dengan bermacam ocehan yang selalu membuat ia tak menemukan jawaban. Aha, anak itu, siapa pula yang akan mengakuinya sebagai anak, toh anak itu tiba-tiba berbuah di rahimnya. Apakah, Adi, Joe, A’la, Rukib, Daus, Jejen, Denar atau Jhodi. Ah, siapa di antara meraka yang sengaja meninggalkan kencing di rahimnya.
Ia tak memilih membunuh benih di rahimnya. Ia memiliki perasaan yang sukar dijawab jika ia menggugurkannya. Bukankah buah di rahimnya itu tak berdosa?. Terkadang juga ingin loncat saja di jembatan agar beban yang ditanggung segera hilang. Namun, ia takut juga terhadap kematian. Segera ia tepis perasaan-perasaan buruk itu.
Pertanyaan-pertanyaan anak itu seperti menyesaki kepalanya, terlampau menyakitkan bahkan tak ada satu pun jawaban. Anak itu selalu bertanya tentang ke mana bapaknya, siapa namanya atau tampankah ia?
“Apakah ayahku tampan” suatu waktu, juga waktu-waktu yang lain anaknya bertanya.
Ia tak segera menjawab pertanyaan dari Wahiba. Ia tak tahu mirip siapa wajahnya. Memang wajahnya, tak begitu cantik namun dari ketawanya anak itu mirip seperti ketawanya Jejen, sedikit mirip juga dengan ketawanya A’la. Hidungnya mungil seperti hidungnya Adi. Ah, kulitnya, antara Joe’ dan Rukib. Postur tubuhnya sedikit ada kesamaan dengan tubuhnya Jhodi, tapi caranya berjalan persis sama dengan cara berjalannya Denar .
Kenapa ia mesti mengalaminya? Gejolak batinnya. Ia yakin kalau ia ingin akhiri kesedihan yang menimpanya itu. Tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Tergiang kembali di benaknya indahnya masa-masa Agustus beberapa tahun lalu sebelum ia terjebak ke Genting Hijau. Setiap ingatannya selalu saja ingin kembali menjadi paskibraka, mengiring bendera ke atas tiang sambil menyanyikan Indonesia Raya, juga sambil hormat pada merah putih. Andai saja Zainuddin tidak mengantarku ke Genting Hijau laknat itu, pasti saat ini paling tidak aku masih berperan atas hadirnya 17 Agustus ini, pasti saat ini aku sangat bahagia, meski tidak mengiring bendera lagi, meski tidak menjadi paskib, pikirnya. Ah, laki-laki itu!

Agustus, 2008

Rachem Siyaeza, lahir di Pajagungan, 02 September 1988, sebuah kampung kecil di ujung timur pulau Madura. Kini sedang melanjutkan Studi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif pada Lesehan Sastra Kutub dan Komunitas Kossoeng Yogyakarta.


1 komentar:

aduh sepertinya aq smakin ktnggalan kawan............................

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites