Selasa, 27 September 2011

CENDIKIA MUDA SEBAGAI MANIFESTO SPIRITUALITAS BANGSA

Oleh: Jhody. M. Adrowi*

Keberadaan bangsa yang mulai carut marut memberikan satu kekhawatiran bagi segenap bangsa, memberikan banyak masalah, menghadirkan banyak pergolakan dan konflik yang kian kompleks, seakan segalanya tidak menemukan titik balik untuk terselesaikan. Janji pemerintah yang sengaja diabaikan menjadi suatu kegelisahan tersendiri bagi seluruh rakyat Indonesia, hokum, agama bahkan karakteristik dari bangsa itu sendiri harus tergadaikan hanya karena kepentingan pribadi atau individu dan kelompok semata, segalanya saling ditumbalkan, tidak ada yang ingin disalahkan dan dipersalahkan dan hanya berakhir dengan saling menumbangkan satu sama lain.
Kita tidak bisa mengelak dari carut marutnya bangsa ini, ibarat bara dalam genggaman, digenggam, tangan hangus terbakar, dibuang, sayang. Sudah sekian lama bangsa kita hanya dirusak oleh para pemimpin bangsa kita, terwariskan kepada rakyat yang berbuah pada ketidak percayaan, hingga rakyatpun semakin gusar dan stabilitas kebangsaanpun tidak terkendali. Lalu siapa yang harus kita kambing hitamkan? Walaupun kerbau juga berwarna hitam.
Mencari siapa yang salah bagi Negara kita menjadi hal yang lucu, karena kebenaran seakan sudah menjadi hal yang nisbi untuk diperbincangkan, karena rakyat dan bangsa ini sudah terkekang dengan ketakutan dan kegelisahan yang mendalam. Lalu , apakah ini akan menjadi akhir dari kehidupan bangsa kita? Atau ini merupakan kehancuran yang sudah sengaja direncanakan? Atau inikah hadiah yang sengaja diberiklan untuk Indonesia?
Kita berhak menanyakannya, kitapun berhak memberikan jawaban yang sesuai dengan realitas yang telah kita hadapi saat ini, dan kitapun tidak perlu untuk terus bersembunyi dalam satu ruang pengap ketakutan, atau kita akan terkubur pelan-pelan. Masih ada banyak harapan dan kekuatan yang harus kembali kita bangun, wajib kita tunjukkan, dan masih banyak amanah yang masih belum terselesaikan dan ini akan terus menjadi tanggung jawab bangsa hingga akhir dari masa kehidupan ini.
Salah satu kekayaan bangsa Indonesia kita adalah pemuda, pemuda merupakan aset besar bagi bangsa, pemuda harus menjadi pioner bagi tegaknya bangsa Indonesia ini, agar tidak terus terpuruk, dan akan mengalami kehancuran yang lebih dahsyat. Sekian problematika kebangsaan yang kian kompleks membutuhkan perhatian yang amat serius, karena menyelesaikannya tidak semudah kita membalikkan telapak tangan kita. Segalanya menbutuhkan keseriusan dan kebersamaan antar pemuda dan rakyat bangsa Indonesia ini. Keterpurukan yang terjadi dalam bangsa ini salah satunya adalah turunnya nilai dan praktek moral bangsa, melupakannya bangsa terhadap kekuasaan Tuhan dan sombongya para pemimpin yang semakin apriori terhadap keadaan bangsa dan rakyatnya.
Tentunya hal ini tidak hanya dapat terselesaikan dalam diskusi dan debat semata, atau bahkan konsep yang dibahas berhari-hari, segalanya membutuhkan ruang, untuk mengembalikan bangsa dan Indonesia pada jalan Tuhan yang semestinya. Tuhan yang maha esa, Tuhan yang telah banyak memberikan kekayaan bagi bangsa ini, Allah Azza wajallah. Dan ruang yang harus kembali kita tempati adalah, ruang gerakan spiritualitas, yang harus dimulai oleh para pemuda, sebagai aset dan penerus bangsa.
Spiritualitas merupakan pencarian dan renungan yang menginsafi akan keberadaan di luar yang penuh dengan segala yang pincang, mudarat, alpa dan merusak. Tentu sekali pemerhatian seperti ini memerlukan daya dan stamina intelektual untuk mengupas sebab musababnya. Ini tentunya penting. Tetapi ada satu lagi dimensi yang dapat mengaitkan kita dan memperkuat rasa kebersamaan untuk melihat kehidupan kita ini sebagai suatu tugas yang harus kita transformasikan. Hal yang disebut ini pernah diutarakan oleh Bell Hooks, seorang intelektual Afrika-Amerika: “We bear witness not just with our intellectual work but with ourselves, our lives. Surely the crisis of these times demands that we give our all…. [However] all of the work we do, no matter how brilliant and revolutionary in thought or action, loses power and meaning if we lack integrity of being.[1]
Sesungguhnya, dipertegaskan sekali lagi bahwa spiritualitas yang kami maksudkan di sini bukanlah yang ada pada diri pemuda itu saja, harus ada keterkaitan antara dirinya dengan lingkungan yang lainnya. Dan lingkungan ini termasuk anggota masyarakat yang lain, kaum etnik/agama minoritas, kelompok yang miskin dan kurang upaya, serta para pemimpin kita. Spiritualitas bukanlah sesuatu keabstrakan, ataupun setakat interiority pada tingkat peribadi, melainkan ia ada rasa kepedulian untuk mencari kepuasan dalaman. Dan ini akan bermakna apabila tercipta kepedulian pada kehidupan di sekelilingnya, dan apabila ia diaktualisasikan. Kebutuhan pada ‘Rahmah Transenden’, sama sekali bukan berarti pemalingan daripada sesuatu yang konkrit dan yang hidup,yaitu sesuatu yang membumi dalam persekitaran kita.

Maka dengan inilah, gerakan pemuda harus kembali dimulai dari suatu renungan yang terus diwujudukan dalam bentuk spiritualitas dan para cendekia muda harus bergerak dengan segala paradigma kritisnya untuk membangun ranah spirituil yang bersifat kebangsaan. Sebagai wadah untuk kembali bergerak pada arah yang lebih baik tanpa kembali menghancurkan yang telah hancur, atau bahkan akan menghancurkan yang masih belum lahir.

Di sinilah letaknya signifikan afirmasi spiritualitas, yakni sifat spiritualitas itu sendiri yang dimaknakan sebagai pencarian yang bermatlamat, mempertingkat dan memperdalam makna kehidupan ini. Sekedar menekankan bahwa setiap satu di kalangan kita harus ada persiapan intelektual yang ampuh serta kepedulian pada persoalan moral-etika, ternyata belum mencukupi. Persoalan spiritualitas, sebagai nadi yang menggerak kemanusiaan, harus juga kita berikan perhatian.

Dipertegaskan juga bahwa kepedulian spiritualitas, harus dibedakan daripada kecenderungan mengamal dan memihak pada sesuatu orientasi keagamaan yang ekslusif sifatnya. Ini kerana sifat ekslusif itu sendiri berlawanan dengan keterbukaan spiritualitas yang kita sebutkan di atas tadi. Tambahan lagi, pengikhtirafan pada aspek spiritualitas yang kita sebutkan bukan berarti afirmasi eksklusif pada orintasi kelompok tertentu, sekiranya kita atau para pemuda menyakini perlunya spiritualitas untuk memperkukuhkan masyarakat, ini tidak berarti bahwa ia “endorses clericalism or any superimposed creed. He merely recognizes that organisation fulfils certain indispensable functions in this age of transition.”[2]

Disinilah letaknya bagi mereka yang bersungguh-sungguh menyebut perihal spiritualisme, khasnya dalam dimensi spiritualisme keagamaan, harus ia berani juga untuk memperkatakan yang sama, dalam pentingnya berspiritual. Kalau ada yang berpendapat bahwa spiritualitas ini merupakan hal yang amat memberatkan, batapa lagi kita yang mengafirmasi keTauhidan pada Tuhan yang Satu? Bukankah persoalan harkat manusia, menegakkan keadilan dan memperbaiki kepincangan, semuanya harus tertanggung pada manusia yang beriman setelah Tuhan sendiri telah mengangkat manusia itu menjadi khalifah di bumi untuk memakmurkan kehidupan ini? Namun yang paling jelas, spiritualitas akan bermakna kalau terdapat keyakinan dan dibuktikan dalam bentuk usaha dan upaya yang dapat melakukan sesuatu yang konkrit dan bermakna. Karena Spiritualitas juga dapat menjadi dasar pada keyakinan kita dan akan menjadi dasar kekuatan bangsa Indonesia kita ini.

Maka sudah tidak dapat kita pungkiri lagi bahwa, dengan pendekatan gerakan spiritualitas untuk bangsa, akan menjadi penawar bagi keterpurukan rakyat dan Indonesia selama ini, hal seperti harus dilakukan oleh para pemuda dengan terus mengajak masyarakat dan para pemimpin, agar kita semua tidak melupkan nilai Rabbaniyyah, yang sejatinya sudah melekat dalam diri kita sejak kita lahir, dan dengan gerakan spirituil itulah akan kembali menyadarkan kita sebagai manusia untuk berlaku adil pada diri sendiri dan seluruh bangsa pada umumnya, demi menciptkan kehidupan yang harmoni, damai dan sentosa atau setidaknya kita tidak terlalu takut hidup di atas tanah negeri yang menjadi tempat tanah lahir kita, dan kita tidak akan lagi memiliki kekhawatiran akan masa depan bangsa Indonesia ini.



*Mahasiswa Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, alumnus Pon-Pes al-In’am Gapura dan aktif di lembaga penelitian BP2M al-In’am. PMII civiel community 2007, sekarang pngurus DEMA UIN suka



________________________________________
[1] Bell Hooks, Teaching Community: A Pedagogy of Hope (New York: Routledge, 2003), h.164
[2] Karl Mannheim, Freedom, Power and Democratic Planning (London: Routledge & Kegan Paul, 1951), h. 313

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites