Senin, 07 November 2011

Perempuan Kiriman Jibril (Kalung Sukma; Kalung Masa Lalu)

Perempuan Kiriman Jibril



(Kalung Sukma; Kalung Masa Lalu)

Cerpen: Zainuddin talareksa*)

Bukan aku takut jatuh cinta pada rekah bibirmu, atau mulka’ matamu, hingga aku menghindar dari semua itu. Tapi karena aku terjaga. Ya, terjaga dari masa lalu, lewat kalung yang melingkar di lehermu itu.
Awalnya aku tak percaya, itu kalung. Karena kalau dilihat dari jauh benda itu tak ubahnya dengan benang putih yang siap menjerat, membunuhmu kapan saja. Itu yang tak pernah melintas dalam kepala penyair. Ya, penyair-penyair yang sedang melingkar mengadu lutut dan mulut di sampingmu. Mereka lebih tergiur pada rekah bibirmu yang tak henti-hentinya mencairkan suasana. Hanya aku yang melirik kalungmu. Kalung yang telah menyeret ingatan pada masa lampau, dimana percintaan gelap Adam dan Siti terdengar orang-orang di kampung kumuh.
Seperti yang telah kukatakan padamu, saat kalimat-kalimatmu mengalir ke udara. Para Penyair semakin tenggelam, merenungi rekah bibirmu untuk melahirkan puisi, Jufri Al-baytuna, penyair muda yang dengan sembunyi-sembunyi mengecup bibirmu dengan sebaris puisi lewat celah angin yang berhembus dari lubang rumah ini. Tapi kamu tak merasa ada yang menyentuh bibirmu, atau meraba pelan-pelan. Tapi ini bukan tanda cemburu, sama sekali tidak. Sebab aku hanya terperangah dengan kalungmu yang sama seperti kalung yang dibuang istriku, atau seperti melingkar di leher perempuan dalam mimpiku.
Semakin lama, dari lebai kalungmu bagai kian menabur bisa racun pada mata. Hingga aku tak punya kesempatan untuk merasakan rekah bibirmu atau kulit putihmu. Tapi bukan disebablan kalung itu indah dipandang. Namun karena kalungmu itu telah membuat pikiran kacau.
Ini memang aneh bila kuceritakan padamu. Tapi yang tak habis pikir mengapa melihat kalungmu aku seperti melihat masa lalu hidupku. Mungkin hanya itu alasan, kenapa aku tetap memilih menatap kalungmu ketimbang rekah bibir dan tubuh solekmu.
“Ini hanya mainan anak-anak”
Kau pasti akan melontarkan jawaban seperti itu, jika aku menanyakan kalungmu. Karena kalungmu memang tak ubahnya kalung manik yang sering kali dipakai keponakanku. Tapi perlu kau tahu, kalung yang melingkar di lehermu itu telah meyeret ingatan kembali ke dunia yang dikatakan oleh banyak orang, masa silam, masa di mana aku mengais-ngais kedamaian dari luka yang menyayat-tubuh lumat.
“Aku tidak percaya”
Ya, kau pasti tak kan percaya. Aku memaklumi itu, kerena kau bukan siapa-siapa, kau hanya perempuan asing yang baru singgah di rumahku malam ini.
“Kamu pendongen yang sering membuat kebohongan menjadi kenyataan, mengatakan hal yang biasa menjadi hal yang mengerikan melalui ungkapan-ungkapan lugas dan tangkas. Dan orang-orang yang mendengarkan menjadi histeris, menangis, atau terseret ke hari-hari yang telah ia lempaui”
Lalu bagaimana aku akan mengatakan kalau kalungmu telah membuat pikiranku kacau, jika kau masih berprasangka semua kata-kata yang mengalir dari mulutku, hanya dongeng anak-anak sebelum tidur. Padahal aku telah mengatakan yang sebenarnya.
Memang aku pendongeng yang sering mengadakan yang sebenarnya tidak ada menjadi ada, tapi kau harus percaya, kali ini saja. Agar aku dapat menceritakan masa di mana aku menjadi anjing yang tiap malam melolong kesatikan meratapi bekas luka yang diperbuat istri, karena kalung yang kubuat mahar hanya tembaga putih. Percayalah.
“Aku tetap tak bisa percaya pada perkataanmu”
Paksa. Ya, kau harus memaksa dirimu untuk percaya dengan semua yang telah dan akan kukatakan padamu malam ini dengan iringan tabuhan rebbana tik-tak hujan malam ini. Sebab aku ingin mengurangi berat beban yang mengandrungi ingatan. Tolong kau paksa. Paksa.
“Aku tak bisa memaksa. Aku tak dapat membohongi diriku sendiri”
Kau penyair. Aku kira kau bisa berbohong pada siapa saja. Jadi kau pasti bisa berbohong pada dirimu sendiri. Berholonglah kali ini saja. Bukankah kebohongan itu sangat diperlukan untuk sebuah kesematan yang sebentar lagi akan berubah menjadi kematian?.
“Aku memang penyair, tapi satu hal yang harus kau tahu: seorang penyair itu tidak bisa berbohong, karena seorang penyair itu melahirkan puisi melalui perasaannya yang paling dalam, bagai kau merasakan ke ganjilan kalungku. Makanya tak salah bila ada yang mengatakan: puisi itu sebuah perasaan yang tak bisa di ukapkan. Alasannya karena seorang penyair itu tak kan bisa melahirkan sebuah puisi tanpa adanya perasaan. Aku akan bacakan sepenggal puisi, agar kau berhenti mengatakan kalau penyair bisa berbohong.

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Tahi lalat dan helai-helai rambutmu
Kuletakkan hati-hati di atas meja
Bersama kertas dan segelas kopi. Kutulis puisi
Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku…*

Puisi itu bukan hanya rekayasa, puisi itu benar-benar lahir dari perasaan yang sedang bergolak dalam diri si penyair. Jadi kamu tak bisa mengatakan penyair itu bisa berbohong kepada siapa pun saja”
Sudahlah, aku tak mau berdebat masalah puisi. Aku hanya ingin bercerita tentang kalung mu dan masa laliku.
“Baiklah. Berceritalah seperti kau bercerita tentang kebohongan pada orang lain, agar aku terhanyut dan mendayung dalam ceritamu, atau aku tak lagi mengatakan kalung ini bukan mainan anak-anak, tapi kalung ini, kalung masa lalu yang telah menorehkan cacatan suram dalam buku ingatanmu, Talareksa, atau seperti Jufri Al-Baytuna mengecup bibirku dengan sebaris puisinya”
Baiklah akan kumulai dari denting cermin.
“Kau tahu cermin?”
“Ya”
Peaaart…!, sebuah cermin terpelanting ke dinding kamar. Istriku mengamuk tak tertahankan. Aku pun hanya menontonnya dengan kecurigaan. Aku biarkan kegilaan istri terus merajalela, menggusur tata rapi baju-baju dalam lemari. Tak puas dia pindah ke laci, tempat kecoak dan laba-laba bersarang.
Semakin gila. Istriku terus menjelajahi kamar bagai orang kesetanan. Sesekali dia menyingkap sasap ranjang, rak, lemari, kadang juga menyingkap kelambu.
Tak lama kamar sudah menjadi tempat sampah. Baju, pecahan cermin, bantal, berserakan di mana-mana. Aku mulai pusing melihat tingkah istriku yang kayak anak dibawah umur itu. Aku yang ingin istirah juga mulai terganggu dengan kegilaannya.
Aku ingin memarahinya seperti yang telah kuperagakan pada orang-orang kampung kumuh beberapa hari lalu. Tapi jika itu kulakukan bukankah akan terjadi senjata makan tuan?. Ya, jika itu kuperagakan tidak hanya kamar yang akan kacau, namun juga isi kepala. Karena di matanya kulihat buncah kemarahan.
Aku benar-benar jemu melihat tingkah istri yang telah melampaui batas itu. Aku segera mengambil ancang-ancang untuk mencegah lelakunya. Nah, dengan lekas aku bangkit dari ranjang, kukumpulkan kemarah sebanyak-banyaknya, kuambil nafas dalam-dalam, kusimpan di perut. Namun pas aku akan memuntahkannya, ternyata istri terlebih dahulu duduk ngeluh di sudut ranjang dengan mata jinak. Dan kemarahan-kemarahan yang telah kutumpuk pun tiba-tiba longsor, leyap.
“Mana kalungku” desisnya.
“Kalung yang mana?”
“Kalung putih itu”
“Bukankah kau sudah membuang mahar itu. karena kalung itu hanya terbuat dari tembaga yang tak ada harganya di pasar.”
“Aku membuang. Karena kau juga”
“Apa?”
“Ya”
“Kau ini bagaimana atau aku yang harus bagaimana.”
“Seharusnya aku yang bertanya, bukan kau”
“Maksudnya?”
“Sebagai laki-laki yang ingin memingan istri harus berpikir apa yang akan dijadikan maharnya. Tubuhku kau tukar dengan kalung tembaga itu. Seharusnya sebagai seorang calon suami tahu selera istrinya, bukan hanya birahi yang dahulukan. Kalau saja dulu aku tahu kau tak mampu memenuhi keinginanku, lebih baik aku menikah dengan dengan putra seorang saudagar kampung kumuh ini”
Mendengar perkataan itu, kugampar muka istri. Dan pertengkaran pun semakin genting, dia melontarkan kata-kata kotor, kugampar lebih keras lagi. Lalu dia mengusirku dengan paksa.
Nah, mulai peristiwa itu, aku memilih pergi dari hidupnya. Aku menjalani hidup sebatang kara. Hingga sampai suatu malam aku bermimpi: laki-laki dewasa berjubah putih, menunjukkan seorang perempuan cantik sambil menunjukkan sebuah kalung tembaga putih. Ya, kalung seperti yang telah dibuang istriku. Lalu lelaki berjubah serba putih itu berkata: lihatlah wajah perempuan ini, lihatlah baik-baik.
Mimpi yang sama, juga terjadi di malam berikutnya. Ya. Mimpi itu berlangsung selama tiga malam berturut-turut.
Dan mulai saat itu, aku berkelana, berbagai kampung kusinggahi hingga akhirnya aku sampai di kota ini. tak lama aku bertemu dengan para penyair di kota ini, aku pun bergabung dengan mereka bermudalkan kebodohan dan kegoblokan yang aku punya, meski mereka melarangku untuk bergabung. Karena mereka takut aku tak bakal mampu menjalani hidup dengan terlunta-luntam layaknya yang tengah mereka jalani.
Mungkin itulah jalan yang telah di gariskan Tuhan. Dengan aku bergabung bersama para penyair di kota ini, aku bisa bertemu dengan perempuan cantik seperti yang dibawa Jibril ke dalam mimpiku. Dia memakai kalung tembaga putih bagai kalung putih yang telah dibuang oleh istruku.
“Siapa?”
“Kamu. Ya, kamu, Sukma”
“Tidak mungkin. Kita baru bertemu malam ini”
“Tapi aku yakin, perempuan yang dibawa Jibril ke dalam mimpiku kamu, Sukma”
“Maksudnya?!”
“Kau penyair. Aku kira kau lebih tahu”


Yogyakarta, Februari 2009
*Diambil dari puisi ‘Menjadi Penyair Lagi’ karya: Acep Zamzam Noor

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites